Cerpen: Rumah Kos Jalan Buntu

illustrasi/google

                Hari ini hari pertamaku menjadi seorang mahasiswa . Aku lulus bebas tes jalur SNMPTN undangan di Universitas Hasanuddin Makassar. Aku sama sekali tak tahu daerah Makassar, maklum aku adalah anak rantau dari sebuah pulau kecil di bawah kaki Sulawesi Selatan, yah kampungku Pulau Selayar.
                Pukul 16.00 WITA kapal feri yang mengangkutku dari Selayar ke Kab.Bulukumba sandar di dermaga. Akupun turun dari feri yang sangat sesak dipenuhi penumpang dari Selayar, anehnya tak ada satupun penumpang yang aku kenal. Semua penumpang sibuk mengangkat barang-barang mereka, termasuk aku. Aku pun ikut berdesak-desakan dengan para penumpang lain menuju ke tempat yang agak sepi untuk melegakan otot-otot  dengan membawa sebuah koper besar, tas jinjing dan kantong kecil berisi air mineral dan kue bolu buatan ibu.
                Ada beberapa pemuda yang menawarkan jasanya untuk membantu membawa koperku. Tetapi aku menolak , aku rasa aku bisa sendiri membawa barang-barangku. Lagi pula jika aku memakai jasanya pasti uangku akan berkurang untuk hidup di kota nantinya. Disini aku harus hemat, ini bukan kampungku, dan aku sadar tak ada pertolongan gratis di sini, kalaupun ada itu keberuntungan.
                Sinar matahari mulai redup, cakrawala memerah, tak lama lagi adzan maghrib berkumandang. Aku pun bergegas ke mushalla pelabuhan, menjamak shalat maghrib dan isya kemudian berangkat lagi menuju bus yang akan membawaku ke kota Makassar. Dari pukul 20.00 sampai 01.00 malam , pak sopir bus beradu dengan jalan raya Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Gowa dan akhirnya tepat pukul 01.30 malam kami sampai di terminal Makassar.
                Mulai malam ini dan hari-hari berikutnya adalah awal kisah perjuanganku di kota Makassar. Malam ini aku bingung harus menginap dimana. Ini sudah tengah malam, dan aku seorang perempuan. Aku tak berpikir panjang, akhirnya kuputuskan malam ini akan menginap di mushalla dekat terminal, tak ada pilihan lain. Semoga tak ada yang menggangu dan mengusirku.
                Hari ini hari Senin, pukul 05.00 subuh aku sudah bangun, sholat, lalu memulai perjalanan dan perjuanganku kembali. Yang menjadi tujuanku hari ini adalah mencari kampus Universitas Hasanuddin di Tamalanrea. Lebih dari lima kali bertanya kepada warga Makassar akhirnya pukul 08.00 aku tiba di kampus Unhas.
Setelah mengurus semua berkas-berkas tuk masuk kuliah, hari ini juga aku berencana mencari tempat kos sebagai tempat tinggalku untuk beberapa tahun menjalani pendidikan.
                Pukul 11.00 semua urusan berkas telah beres. Kulangkahkan kaki mencari tempat kos yang dekat dengan kampus dan yang harga sewanya murah. Tak terasa kaki ku menyusuri lorong-lorong  jalan sahabat. Aku mendatangi setiap rumah kos yang ada di situ, sudah delapan gang kutelusuri tetapi semuanya penuh, ada memang beberapa kamar kos yang masih kosong, tetapi harga sewanya sangat mahal.
                Sudah pukul 15.00, aku lelah, lapar dan ngantuk , tanganku juga serasa  mau putus karena berjam-jam mengangkat koper. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. “Aku tidak boleh putus asa, ini hari pertama, aku harus kuat”. Celotehku dalam hati.
                Rasanya sudah 1 km aku berjalan berkeliling-keliling gang. Akhirnya aku memilih untuk beristirahat sejenak di sebuah warung kecil dan meminta segelas air kepada ibu pemilik warung. Beruntung ibu itu sangat baik dan ramah. Setelah memberiku segelas air putih, ia lalu mengambil sebuah piring kosong dan mengisinya dengan nasi, ikan, sayur, ayam, tempe dan mie goreng. Aku bingung siapa yang ia layani, aku melirik ke samping kiri, kanan dan belakang tapi tidak ada pelanggan yang datang. Seketika piring yang berisi makanan lezat itu disodorkan kepadaku. Aku menelan ludah dan memegang perutku yang memang sedari tadi keroncongan.
                “Tapi Bu, saya tidak memesan makanan itu”, ujarku pelan.
                “Ambillah nak, ibu tahu kamu pasti lelah dan lapar.”
                “hhmm, tidak usah pakai ayam, tempe dan ikan bu, saya cuma punya uang sedikit.”
Ibu itu tersenyum, “kali ini Ibu kasi gratis deh, makanlah!”
                Aku tak berpikir panjang , segera kuraih sepiring makanan lezat itu dengan wajah berbinar, lagi pula aku sangat lapar. Ibu itu pun lagi-lagi tersenyum ramah.
                Sambil makan , aku berbincang-bincang dengan ibu pemilik warung , tentang asalku, sekolahku, mengapa aku ada disini dan sebagainya. Dan akhirnya aku bertanya tentang tempat kos yang baik dan harga sewanya terjangkau olehku. Ibu itu menunjuk gang-gang kecil tempat kos yang sudah aku datangi tadi. Hm sepertinya tak ada harapan, mungkin kos di jalan sahabat sudah tidak ada lagi untukku.
                Seketika aku berbalik ke kanan, disana ada gang yang sepi yang ujungnya adalah jalan buntu. Di paling sudut jalan buntu itu ada sebuah rumah besar bercat putih hitam.
                “Bu, rumah di jalan buntu itu tempat kos bukan?” aku menunjuk kearah rumah besar itu.
                Tiba-tiba wajah ibu itu tersenyum kecil dan dengan pelan berkata, “oh iya, Ibu sarankan kamu  kos di tempat itu saja, harga sewanya juga tak terlalu mahal.”
“baiklah, terima kasih bu atas informasinya.” Akupun bergegas dengan senyum memekar.
                “Fiuhhh.. rumah itu satu-satunya harapanku, semoga harga sewanya juga bersahabat seperti apa yang dikatakan ibu pemilik warung.” Batinku.
                Tok..tok..tok.. “assalamualakum, assalamualaikum.” Sudah tiga menit tak kunjung ada jawaban. Kuperhatikan pekarangan dan rumah itu. Rumahnya kelihatan tak terawat, rumput-rumput di halamannya sudah sampai betis, cat dindingnya sudah mulai terkelupas, tapi aku tak peduli.
                 Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara langkah kaki menuju pintu depan.  “Syukurlah ternyata ada orang.” Aku sedikit lega.
                “waalaikumsalam”, suara anak perempuan 10 tahun yang cantik menjawab salamku dan membukakan pintu. Aku tunduk sedikit dan bertanya kepada anak perempuan itu.
                “dek, ibunya mana? Masih ada kamar kos nggak yang kosong?”
                Tiba-tiba anak itu memegang dan menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah.
                “masuk dulu kak, kita main boneka yah, ibu lagi ke pasar beli boneka baru buat Susan. Masih ada kamar kosong kok kak, tenang aja.”
                “Tapi dek, kira-kira adek tahu nggak berapa harga sewa kamar disini?” aku bertanya antusias , berharap adek kecil itu tahu.
                “Tahu kak, aku pernah dengar kata ibu harga kamar disini 800.000 pertahun.” Jawab anak itu meyakinkan.
                Wah harganya murah sekali, dan aku pikir tempat kos ini tidak terlalu buruk untuk dijadikan tempat tinggal. Aku senang sekali.
                “dek, kok nggak ada anak kos lain sih? Sepi banget.”
                “kakak-kakak yang lain udah tidur kak.”
                Seketika langsung kulihat jam tanganku, disitu menunjukkan pukul 17.00. Jawaban yang tidak masuk akal menurutku. Tapi ah aku tak peduli , yang penting sekarang aku sudah mendapat tempat kos yang baik.
                “kak, aku ke belakang dulu yah mau ambil boneka Teddy Bear, kakak tunggu disini , ibu sebentar lagi pasti datang.”
                “ok dek.”
                Sudah lebih setengah jam aku menunggu sambil membaca buku, tetapi ibu kos dan anak perempuan itu belum juga datang. Perasaanku mulai tidak enak. Aku mulai beranjak dari tempat dudukku. Dengan santai aku berkaca di cermin yang menempel di dinding ruang tengah, tiba-tiba,
                “aaaaaggggghhhhhh.” Aku beteriak dan menutup kedua mataku.
                Aku melihat di bayangan cermin sesosok anak perempuan tergantung dengan mata membelalak, lidah menjulur keluar ,tubuh sangat pucat, dan darah segar menetes dari mata, mulut, telinga dan hidungnya.
                Seketika aku memberanikan diri untuk berbalik . Tetapi apa yang barusan kulihat di cermin ternyata tak ada, mungkin hanya halusinasiku, karena aku terlalu lelah menunggu.
                Tiba-tiba tegel putih yang sedari tadi kuinjak menjadi sangat dingin menembus kaki hingga ujung kepalaku. Aku menelan ludah, napasku tak beraturan, badanku lemas. Di ujung lorong menuju kamar mandi aku melihat ibu pemilik warung menggendong susan dengan keadaan sangat mengerikan, tubuhnya penuh dengan darah seperti bekas sayatan pisau, dua orang lelaki juga dalam keadaan yang sama, mereka semua menghampiriku dengan menggenggam sebilah pisau.
                Aku takut, sangat takut, keringat dan air mataku mengucur deras. Tanpa memperdulikan tas koper dan tas jinjingku , aku berlari tak beraturan, berkali-kali aku terjatuh tetapi bangkit lagi. Kali ini pintu keluar terasa sangat jauh, aku bisa melihatnya tetapi tak bisa meraihnya. Kabut putih memenuhi seisi rumah , aku tak bisa melihat apa-apa, semuanya gelap. Tiba-tiba aku merasa beberapa pisau menancap di tubuhku. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya bisa berharap ini semua hanyalah sebuah mimpi buruk yang akan segera berakhir.
                Aku merasa kini berada di alam yang sangat berbeda.  Tiba-tiba tubuhku terguncang-guncang. Perlahan mulai kubuka kedua mataku, ternyata aku belum mati. Kuperhatikan sekelilingku. Aku melihat puluhan perempuan seusiaku berada disekelilingku.
‘Aku ada dimana?” kubuka percakapan dengan perempuan-perempuan itu dengan suara parau.
“Sekarang kita berada di mobil truk menuju pondoknya mami di jalan nusantara. Kita semua ini yah korban kayak kamu juga. Tapi tenang saja, kamu nantinya juga akan terbiasa, kita juga bakal mendapat banyak uang.” Jawab salah satu perempuan seksi di sudut truk sambil mengepulkan asap rokoknya.
                Badanku lemas. Batinku menjerit.
                “Ibu.…. Akuuuu inginnn pulaaanggggg.”
Salam Pena,
Radiah Annisa Nasiruddin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Sampai Mereka Tahu Aku Lesbi

Puisi: Tugu Monas Ibu Kota

Namaku dari Sudut Pandang Makhluk Lain