Cerpen: Rumah Kos Jalan Buntu
Hari
ini hari pertamaku menjadi seorang mahasiswa . Aku lulus bebas tes jalur SNMPTN
undangan di Universitas Hasanuddin Makassar. Aku sama sekali tak tahu daerah
Makassar, maklum aku adalah anak rantau dari sebuah pulau kecil di bawah kaki
Sulawesi Selatan, yah kampungku Pulau Selayar.
Pukul
16.00 WITA kapal feri yang mengangkutku dari Selayar ke Kab.Bulukumba sandar di
dermaga. Akupun turun dari feri yang sangat sesak dipenuhi penumpang dari
Selayar, anehnya tak ada satupun penumpang yang aku kenal. Semua penumpang
sibuk mengangkat barang-barang mereka, termasuk aku. Aku pun ikut
berdesak-desakan dengan para penumpang lain menuju ke tempat yang agak sepi
untuk melegakan otot-otot dengan membawa
sebuah koper besar, tas jinjing dan kantong kecil berisi air mineral dan kue
bolu buatan ibu.
Ada
beberapa pemuda yang menawarkan jasanya untuk membantu membawa koperku. Tetapi
aku menolak , aku rasa aku bisa sendiri membawa barang-barangku. Lagi pula jika
aku memakai jasanya pasti uangku akan berkurang untuk hidup di kota nantinya.
Disini aku harus hemat, ini bukan kampungku, dan aku sadar tak ada pertolongan
gratis di sini, kalaupun ada itu keberuntungan.
Sinar
matahari mulai redup, cakrawala memerah, tak lama lagi adzan maghrib
berkumandang. Aku pun bergegas ke mushalla pelabuhan, menjamak shalat maghrib
dan isya kemudian berangkat lagi menuju bus yang akan membawaku ke kota
Makassar. Dari pukul 20.00 sampai 01.00 malam , pak sopir bus beradu dengan
jalan raya Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Gowa dan akhirnya tepat
pukul 01.30 malam kami sampai di terminal Makassar.
Mulai malam
ini dan hari-hari berikutnya adalah awal kisah perjuanganku di kota Makassar.
Malam ini aku bingung harus menginap dimana. Ini sudah tengah malam, dan aku
seorang perempuan. Aku tak berpikir panjang, akhirnya kuputuskan malam ini akan
menginap di mushalla dekat terminal, tak ada pilihan lain. Semoga tak ada yang
menggangu dan mengusirku.
Hari
ini hari Senin, pukul 05.00 subuh aku sudah bangun, sholat, lalu memulai
perjalanan dan perjuanganku kembali. Yang menjadi tujuanku hari ini adalah
mencari kampus Universitas Hasanuddin di Tamalanrea. Lebih dari lima kali bertanya
kepada warga Makassar akhirnya pukul 08.00 aku tiba di kampus Unhas.
Setelah mengurus semua berkas-berkas tuk masuk kuliah, hari
ini juga aku berencana mencari tempat kos sebagai tempat tinggalku untuk
beberapa tahun menjalani pendidikan.
Pukul
11.00 semua urusan berkas telah beres. Kulangkahkan kaki mencari tempat kos
yang dekat dengan kampus dan yang harga sewanya murah. Tak terasa kaki ku
menyusuri lorong-lorong jalan sahabat.
Aku mendatangi setiap rumah kos yang ada di situ, sudah delapan gang kutelusuri
tetapi semuanya penuh, ada memang beberapa kamar kos yang masih kosong, tetapi
harga sewanya sangat mahal.
Sudah
pukul 15.00, aku lelah, lapar dan ngantuk , tanganku juga serasa mau putus karena berjam-jam mengangkat koper.
Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. “Aku tidak boleh putus
asa, ini hari pertama, aku harus kuat”. Celotehku dalam hati.
Rasanya
sudah 1 km aku berjalan berkeliling-keliling gang. Akhirnya aku memilih untuk
beristirahat sejenak di sebuah warung kecil dan meminta segelas air kepada ibu
pemilik warung. Beruntung ibu itu sangat baik dan ramah. Setelah memberiku
segelas air putih, ia lalu mengambil sebuah piring kosong dan mengisinya dengan
nasi, ikan, sayur, ayam, tempe dan mie goreng. Aku bingung siapa yang ia layani,
aku melirik ke samping kiri, kanan dan belakang tapi tidak ada pelanggan yang
datang. Seketika piring yang berisi makanan lezat itu disodorkan kepadaku. Aku
menelan ludah dan memegang perutku yang memang sedari tadi keroncongan.
“Tapi
Bu, saya tidak memesan makanan itu”, ujarku pelan.
“Ambillah
nak, ibu tahu kamu pasti lelah dan lapar.”
“hhmm,
tidak usah pakai ayam, tempe dan ikan bu, saya cuma punya uang sedikit.”
Ibu itu tersenyum, “kali ini Ibu kasi gratis deh, makanlah!”
Aku tak
berpikir panjang , segera kuraih sepiring makanan lezat itu dengan wajah
berbinar, lagi pula aku sangat lapar. Ibu itu pun lagi-lagi tersenyum ramah.
Sambil
makan , aku berbincang-bincang dengan ibu pemilik warung , tentang asalku,
sekolahku, mengapa aku ada disini dan sebagainya. Dan akhirnya aku bertanya
tentang tempat kos yang baik dan harga sewanya terjangkau olehku. Ibu itu
menunjuk gang-gang kecil tempat kos yang sudah aku datangi tadi. Hm sepertinya
tak ada harapan, mungkin kos di jalan sahabat sudah tidak ada lagi untukku.
Seketika
aku berbalik ke kanan, disana ada gang yang sepi yang ujungnya adalah jalan
buntu. Di paling sudut jalan buntu itu ada sebuah rumah besar bercat putih
hitam.
“Bu,
rumah di jalan buntu itu tempat kos bukan?” aku menunjuk kearah rumah besar
itu.
Tiba-tiba
wajah ibu itu tersenyum kecil dan dengan pelan berkata, “oh iya, Ibu sarankan
kamu kos di tempat itu saja, harga
sewanya juga tak terlalu mahal.”
“baiklah, terima kasih bu atas informasinya.” Akupun
bergegas dengan senyum memekar.
“Fiuhhh..
rumah itu satu-satunya harapanku, semoga harga sewanya juga bersahabat seperti
apa yang dikatakan ibu pemilik warung.” Batinku.
Tok..tok..tok..
“assalamualakum, assalamualaikum.” Sudah tiga menit tak kunjung ada jawaban.
Kuperhatikan pekarangan dan rumah itu. Rumahnya kelihatan tak terawat,
rumput-rumput di halamannya sudah sampai betis, cat dindingnya sudah mulai
terkelupas, tapi aku tak peduli.
Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara
langkah kaki menuju pintu depan. “Syukurlah
ternyata ada orang.” Aku sedikit lega.
“waalaikumsalam”,
suara anak perempuan 10 tahun yang cantik menjawab salamku dan membukakan
pintu. Aku tunduk sedikit dan bertanya kepada anak perempuan itu.
“dek,
ibunya mana? Masih ada kamar kos nggak yang kosong?”
Tiba-tiba
anak itu memegang dan menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah.
“masuk
dulu kak, kita main boneka yah, ibu lagi ke pasar beli boneka baru buat Susan.
Masih ada kamar kosong kok kak, tenang aja.”
“Tapi
dek, kira-kira adek tahu nggak berapa harga sewa kamar disini?” aku bertanya
antusias , berharap adek kecil itu tahu.
“Tahu
kak, aku pernah dengar kata ibu harga kamar disini 800.000 pertahun.” Jawab
anak itu meyakinkan.
Wah
harganya murah sekali, dan aku pikir tempat kos ini tidak terlalu buruk untuk
dijadikan tempat tinggal. Aku senang sekali.
“dek,
kok nggak ada anak kos lain sih? Sepi banget.”
“kakak-kakak
yang lain udah tidur kak.”
Seketika
langsung kulihat jam tanganku, disitu menunjukkan pukul 17.00. Jawaban yang
tidak masuk akal menurutku. Tapi ah aku tak peduli , yang penting sekarang aku
sudah mendapat tempat kos yang baik.
“kak,
aku ke belakang dulu yah mau ambil boneka Teddy Bear, kakak tunggu disini , ibu
sebentar lagi pasti datang.”
“ok
dek.”
Sudah
lebih setengah jam aku menunggu sambil membaca buku, tetapi ibu kos dan anak
perempuan itu belum juga datang. Perasaanku mulai tidak enak. Aku mulai
beranjak dari tempat dudukku. Dengan santai aku berkaca di cermin yang menempel
di dinding ruang tengah, tiba-tiba,
“aaaaaggggghhhhhh.”
Aku beteriak dan menutup kedua mataku.
Aku
melihat di bayangan cermin sesosok anak perempuan tergantung dengan mata
membelalak, lidah menjulur keluar ,tubuh sangat pucat, dan darah segar menetes
dari mata, mulut, telinga dan hidungnya.
Seketika
aku memberanikan diri untuk berbalik . Tetapi apa yang barusan kulihat di
cermin ternyata tak ada, mungkin hanya halusinasiku, karena aku terlalu lelah
menunggu.
Tiba-tiba
tegel putih yang sedari tadi kuinjak menjadi sangat dingin menembus kaki hingga
ujung kepalaku. Aku menelan ludah, napasku tak beraturan, badanku lemas. Di
ujung lorong menuju kamar mandi aku melihat ibu pemilik warung menggendong
susan dengan keadaan sangat mengerikan, tubuhnya penuh dengan darah seperti
bekas sayatan pisau, dua orang lelaki juga dalam keadaan yang sama, mereka
semua menghampiriku dengan menggenggam sebilah pisau.
Aku
takut, sangat takut, keringat dan air mataku mengucur deras. Tanpa
memperdulikan tas koper dan tas jinjingku , aku berlari tak beraturan,
berkali-kali aku terjatuh tetapi bangkit lagi. Kali ini pintu keluar terasa
sangat jauh, aku bisa melihatnya tetapi tak bisa meraihnya. Kabut putih
memenuhi seisi rumah , aku tak bisa melihat apa-apa, semuanya gelap. Tiba-tiba
aku merasa beberapa pisau menancap di tubuhku. Aku tak tahu apa yang sebenarnya
terjadi. Aku hanya bisa berharap ini semua hanyalah sebuah mimpi buruk yang
akan segera berakhir.
Aku merasa
kini berada di alam yang sangat berbeda. Tiba-tiba tubuhku terguncang-guncang. Perlahan
mulai kubuka kedua mataku, ternyata aku belum mati. Kuperhatikan sekelilingku.
Aku melihat puluhan perempuan seusiaku berada disekelilingku.
‘Aku ada dimana?” kubuka percakapan dengan
perempuan-perempuan itu dengan suara parau.
“Sekarang kita berada di mobil truk menuju pondoknya mami di
jalan nusantara. Kita semua ini yah korban kayak kamu juga. Tapi tenang saja,
kamu nantinya juga akan terbiasa, kita juga bakal mendapat banyak uang.” Jawab
salah satu perempuan seksi di sudut truk sambil mengepulkan asap rokoknya.
Badanku
lemas. Batinku menjerit.
“Ibu.….
Akuuuu inginnn pulaaanggggg.”
Salam Pena,
Radiah Annisa Nasiruddin
Radiah Annisa Nasiruddin
Komentar
Posting Komentar