Resensi Novel Tarian Bumi


Cover Tarian Bumi


Tarian Bumi, Kehidupan Perempuan di Tanah Bali
Judul               : Tarian Bumi
Penulis             : Oka Rusmini
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : Cetakan pertama: Juli 2007
                          Cetakan kedua: Juni 2013
Tebal               : 182 hlm        
Bali adalah salah-satu pulau di Indonesia yang telah menasional dan mengglobal di seluruh penjuru dunia karena terkenal dengan pesona kebudayaan dan ritualnya yang terlihat eksotik. Namun kenyataannya Bali yang dari luar terlihat eksotik tersebut sebenarnya memaksa para masyarakatnya menahan air mata dan luka yang disimpan sendiri dan tak terlihat oleh kebanyakan orang.
Sebagai seorang perempuan keturunan Bali yang lahir dan tinggal lama di tanah kelahirannya, Oka Rusmini berhasil menyuguhkan ceritanya tentang ritual Bali yang jarang orang-orang ketahui secara mendetail. Novel yang berisi 182 halaman ini banyak menceritakan posisi kaum perempuan dalam kebudayaan Bali yang sebenarnya tak seindah yang orang duga, diantaranya konflik antar kasta Brahmana dan Sudra, dimana kasta Brahmana adalah kasta tertinggi di masyarakat Bali sedangkan Sudra adalah kasta terendah.
Tarian Bumi menceritakan tentang kehidupan perempuan Bali. Luh Sekar, perempuan penari cantik dari Sudra yang kemudian menikah dengan laki-laki Brahmana karena obesisnya mengubah hidup menjadi bangsawan. Perjuangan Luh Sekar menikah dengan seorang bangsawan Brahmana tidak mudah, ia akan melakukan apa saja. Luh Sekar menceritakan semuanya kepada Luh Kenten, Luh Kenten diam-diam menyukai Luh Sekar padahal mereka sama-sama perempuan. Luh Kenten akan merestui pernikahan Luh Sekar dengan Ida Bagus asalkan Luh Sekar bersedia tidur dengannya.
Keinginan Luh Sekar terwujud, ia dilamar Ida Bagus Ngurah Pidada. Luh Sekar berganti nama menjadi Jero Kenanga karena statusnya sebagai perempuan Sudra yang menikah dengan laki-laki Brahmana. Setelah menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada ternyata hidupnya berubah secara drastis, Luh Sekar harus menuruti berbagai macam peraturan adat di kehidupan griya Brahmana yang berbeda jauh dari kehidupannya yang dulu. Kini Luh Sekar lebih tinggi derajatnya dari semua orang Sudra bahkan ibunya sendiri. Dari awal Ibu mertuanya tidak menyukai pernikahan Luh Sekar dengan Ida Bagus Ngurah Pidada. Terlebih lagi suami Luh Sekar yang suka main banyak perempuan. Bahkan kedua saudara Luh Sekar pun menjadi selingkuhannya.  
Luh Sekar melahirkan anak bernama Ida Ayu Telaga Pidada, dia ingin anaknya juga menikah dengan laki-laki Ida Bagus keturunan bangsawan Brahmana. Tetapi semuanya tak seperti yang diharapkan. Kisah hidup Ida Ayu Telaga Pidada penuh lika-liku, karena cintanya pada Wayan Sasmitha laki-laki dari Sudra maka dia harus meninggalkan pangkat  kebangsawanannya. Pernikahan Telaga dengan Wayan tidak mendapat restu dari orang tuanya. Mereka takut pernikahan seorang Ida Ayu dengan laki-laki Sudra menjadi contoh yang tidak baik oleh para Ida Ayu yang lain sehingga menjadi aib pada keluarga griya Brahmana. Namun pernikahan itu tetap dilaksanakan karena Telaga mengandung anak Wayan.
Novel ini menggunakan alur campuran, maju dan mundur, akan tetapi lebih di dominasi oleh alur mundur karena menceritakan kisah  tokoh utama secara flash back. Gaya bahasa yang digunakan pengarang adalah Bahasa Indonesia dan Bahasa daerah Bali. Karena menggunkan bahasa daerah Bali maka pembaca sulit memahami apa yang ingin disampaikan penulis, akan tetapi setiap kata yang sulit dimengerti tersebut sudah diterangkan dalam catatan kaki, selain itu ada beberapa upacara atau kebiasaan masyarakat Bali yang dijelaskan dalam cerita.
Seyogyanya novel ini hanya dikonsumsi oleh orang dewasa usia 18 tahun ke atas. Karena banyak menceritakan tentang kehidupan  rumah tangga, hubungan suami istri maupun kisah penyuka sesama jenis yang sepatutnya tidak boleh di baca anak-anak di bawah umur.
Cerita yang sangat menarik dan dramatis dari kehidupan yang penuh lika-liku perempuan Bali dikemas baik oleh Oka Rusmini dalam Tarian Bumi. Di tengah kehidupan yang serba modernis sekarang ini ternyata aturan-aturan dan ritual adat Bali sangat mengikat para perempuan sehingga perempuan Bali harus tunduk dan penuh kepasrahan meski selalu mencoba keluar dan memberontak dalam kehidupannya yang penuh dengan kekangan.
Radiah Annisa N  

Komentar

  1. yups.. benar, sis, aq jg dl dah baca ketika edisi pertamanya baru keluar , wow good story.. :D

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Sampai Mereka Tahu Aku Lesbi

Puisi: Tugu Monas Ibu Kota

Namaku dari Sudut Pandang Makhluk Lain