Pelajaran dari Sebuah Cermin



Masih selalu terngiang dalam ingatanku pada dongeng masa kecil tentang cermin ajaib, milik ratu yang sangat jahat. Setiap hari, dengan bangganya sang ratu berkutat di depan cermin, menanyakan pertanyaan yang sama. “Siapakah perempuan paling cantik di dunia wahai cermin ajaib?” Bertahun-tahun didapatinya jawaban memuaskan, yaitu sang ratu lah perempuan paling cantik di dunia. Namun, tiba suatu saat lahir seorang putri raja, namanya Putri Salju, dan predikat itu tak lagi diucapkan cermin ajaib untuk sang ratu. Ketika diutarakan pertanyaan yang sama, cermin ajaib dengan lantang mengucapkan bahwa Putri Salju lah perempuan paling cantik di dunia. Sang ratu pun murka. Dilakukannya segala cara untuk menyingkirkan Putri Salju.
Meski hanya sebuah dongeng, setidaknya alur yang digambarkan dalam kisah ratu dan Putri Salju, sedikit banyak kita dapat mengetahui gambaran sifat cermin. Ia selalu berkata jujur, polos dan apa adanya, tak mengurangi maupun melebihkan. Apa yang dilihat di dalam cermin itulah gambaran sebenarnya. Cermin yang kita gunakan setiap harinya adalah tool atau alat untuk melihat fisik kita secara menyeluruh.  Apa yang dilihat orang lain pada diri kita dapat pula kita lihat secara utuh.
Kita mungkin tak bisa membayangkan, bagaimana hidup tanpa sebidang cermin. Kita tak dapat mengukur sejauh mana kerapian kita mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki tanpa benda yang ditemukan oleh Justus von Liebig tersebut.
Hampir setiap hari tak ada orang yang tidak melewati harinya dengan bercermin. Meski benda tersebut terlihat sederhana namun manfaatnya luar biasa. Dia menyempurnakan kita dihadapan orang lain. Bayangkan saja, jika cara untuk melihat diri kita adalah hanya dengan menggunakan mata secara langsung, maka bola mata harus keluar dari tempatnya demi melihat diri sendiri. Dengan adanya cermin, maka tak ada kekhawatiran yang dirasakan tatkala keluar rumah, meskipun apa yang kita lihat terkadang tak memuaskan, paling tidak kita tahu kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri kita. Tak hanya bermanfaat secara langsung, manfaat lainnya adalah banyak pelajaran yang bisa dipetik dari sebuah cermin.
Namun, cermin yang hampir setiap hari kita gunakan tak bisa mengukur diri kita secara non fisik, misalnya kepribadian, mental dan karakter. Lalu, cermin apa yang dapat digunakan untuk melihat diri kita secara non fisik? Jawabannya yaitu orang-orang di sekitar kita, terpenting adalah seorang sahabat.  
Penilaian, pendapat, pemahaman sahabat dalam melihat bagaimana diri kita adalah cermin kehidupan. Penilaian terburuk pun sejatinya harus diterima. Namun, penilaian cermin kehidupan kita tak lantas membuat kita mengerdilkan diri atau malah mengangkat leher. Mereka mampu menjadi penyemangat dalam memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi. Atau menjadi alat agar kita senantiasa bertawaddhu atau rendah hati.
Dengan adanya sahabat sebagai cermin kehidupan, kita bisa lebih sering mengintrospeksi diri, mengevaluasi apa yang telah terjadi. Bagaimana kita menata hidup, memperbaiki diri  menjadi lebih baik lagi. Karena sahabat yang baik adalah dia yang berkata jujur dan apa adanya pada kita. Baik atau pun buruk yang dikatakan sahabat semestinya memang harus diterima layaknya cermin menyampaikan pada orang yang bercermin.
Akhirnya, saya katakan, cermin terbaik sebenarnya ada tepat di samping kita. Mengatakan apa yang dia lihat pada diri kita apa adanya, dengan kepolosan dan kejujuran, tanpa takut, tanpa dendam. Tujuannya hanya satu, dia ingin melihat kita menjadi lebih baik lagi. Hanya saja sulit menemui cermin terbaik itu, bahkan kita sendiri tak bisa mengukur, apakah kita sudah jadi cermin kehidupan terbaik bagi orang terkasih kita?(*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Sampai Mereka Tahu Aku Lesbi

Puisi: Tugu Monas Ibu Kota

Namaku dari Sudut Pandang Makhluk Lain