Cerpen: Hanyut Dalam Purnama



Sekali lagi malam bulan pertengahan. Kupeluk erat kedua lututku guna mendapat sedikit rasa hangat, duduk di antara air dan angin yang sudah bersahabat denganku 10 tahun terakhir. Serasa ada kekuatan gaib yang menarik raga dan hatiku untuk masih selalu setia labuhkan perasaan yang menggelayut tak pasti. Untuk ke sekian kalinya aku ke sini, di pesona bibir pantai. Tepat ketika bulan sudah sempurna. Dalam purnama.
Jika ditanyakan. Dalam 10 tahun ada berapa kali purnama? Sebanyak itulah penantian rinduku. Bahkan lebih. Aku merindukanmu. Tak berlebihan jika aku katakan aku tak pernah lagi rasakan aroma mentari, hariku hanyalah bait malam di bulan purnama. Fikiranku hanya tertuju padamu. Anganku melayang bersama debu malam. Malam ini, Aku hanya ingin melihat kejora itu berpijar lagi di matamu, pelangi itu membias senyummu, jemari suteramu sekat laraku, bibirmu ucap merdu namaku, ku ingin kau ingat dan tepati semua janji merpatimu.
Kutatap sayu langit kosong malam ini. Tak ada lagi bintang. Hanya ada purnama, sendiri, seperti aku. Seperti malangnya nasibku. Tak terasa kristal-kristal kecil membanjiri pipiku, menjelma bak sungai-sungai kecil bermuara di hati yang sudah teramat rindu.
Kubuka satu per satu album kisah kita, ku pejamkan mata sembabku, melipat leher yang sudah tak kuasa mengangkat beratnya memori luka lara di kepalaku, aku masih duduk sendiri memeluk lutut. Masih terngiang pesona senyum manis pertama jumpa kita, hingga senyum kepedihan akhir pertemuan kita. Kuingat rangkaian cerita yang telah terbingkai di seluruh desah nafasku, dan waktu pun berjalan ke belakang.
***
“Zahirah?”
“Hem?” Aku masih tertunduk, panggilan laki-laki asing yang tiba-tiba muncul di hadapanku ketika kududuk sendiri di dermaga dekat sekolah, tak terlalu kuhiraukan.
“Namamu Zahirah kan?” Dia kembali bertanya tanpa kurespon lagi.
“Hem, baiklah akan kujelaskan, aku menemukan dompetmu di…”, belum selesai dia berbicara langsung kupotong penjelasannya.
Mataku berbinar, ekspresiku berlebihan, kusambar semua kata, “Betulkah?  Mana? Mana? Dimana dompetku? Anda temukan dimana? Dua  hari ini aku tak bisa tidur karena memikirkannya, terima kasih banyak, ayo berikan padaku sekarang.”
“Ini dompetmu, Zahirah.” Kuraih dompet merahku. Kutatap wajahnya, ada lesung bersarang di pipinya, senyumnya manis sekali. Aku jadi malu sendiri.
“Anda tahu, hari ini anda sudah menyelamatkan hidupku dan hidup keluargaku. Sepulang dari bank dua hari lalu aku kehilangan dompet ini, dompet yang menopang hidup keluargaku.” Jelasku padanya tanpa ditanya, sambil membuka dombet memastikan masih utuh tidaknya beberapa lipatan uang di dalamnya.
Dia masih tersenyum manis melihat tingkahku, “lain kali hati-hati, Zahirah!”
***
Semenjak peristiwa awal jumpa kita, aku selalu memikirkanmu. Orang pasti menganggapku berlebihan tetapi aku tak peduli itu. Kau tahu? Aku termasuk perempuan yang sulit jatuh cinta bahkan berbicara dengan lelaki pun sangat jarang, tetapi denganmu semua terasa berbeda, kau punya sesuatu entah itu apa. Yang jelas ketika ada dirimu ada rasa nyaman, tak ingin berpisah. Matahari terasa sejuk, angin berhembus pelan, waktu terasa berhenti, dan berbagai peristiwa tak seperti biasa terjadi hanya bersamamu. Seperti dalam sinetron.
Tak kusangka kau pun merasakan hal yang sama. Dan, singkat cerita, kita pun menjalin asmara. Hari-hari bersamamu adalah sebuah keajaiban, keajaiban yang nyata, kau guru cerita cintaku. Aku bahagia. Sungguh, sangat.
***
Dan, kuingat senyum kepedihan akhir pertemuan kita. Berbaring di atas pasir putih, menatap langit malam. Di bawah purnama terakhir, bersamamu. Pedih rasanya.
“Zahirah!”
“Yah.”
“Sudah tiga tahun yah?”
“Iyah.” Jawabku mantap berharap malam ini kau akan mengikat jari manisku dengan sebuah cincin.
“Bagaimana jika suatu hari aku pergi, tak kembali.”
“Kenapa berkata begitu?” mataku mulai berkaca-kaca, hampir tumpah.
“Hahaha, tidak, aku hanya berandai-andai.”
“Jangan tertawa, itu tidak lucu, aku tak pernah memikirkan kita berpisah, dan aku tak mau memikirkannya.” Air mata sudah tumbah di pipi merahku.
“Zahirah, percayalah, aku tak akan meninggalkanmu.” Kemudian kau pegang pundakku erat, menatap mataku dalam, dan ku terisak di dadamu. Di bawah purnama putih, di bibir pantai yang sunyi.
“Zahirah, malam ini aku akan pergi, jangan khawatir,  hanya untuk sementara. Aku akan ke Batam, ada masalah keluarga yang ingin ku selesaikan sekaligus mengumpulkan rupiah untukmu, untuk kita. Tunggu aku satu tahun lagi, aku akan datang ke orangtuamu.”
“Aku akan menunggu, satu tahun tak menjadi masalah bagiku, untukmu aku tak keberatan menunggu lebih lama lagi. Yang penting, akhirnya nanti kita terus bersama.” Dadaku sesak mengatakannya.
“Aku berjanji padamu, satu tahun lagi kita bertemu disini. Di bawah purnama itu. Jangan pernah menangis lagi. Sampai jumpa Zahirah, jangan terlalu merindukanku.” Kau beranjak dan berlalu dihadapanku dengan langkah satu-satu.
***
Hari itu, usiaku masih ranum-ranumnya, banyak pemuda yang datang menawarkan janji suci. Tetapi aku menolak, itu semua karenamu, aku menunggumu. Kini, ibu selalu memaksaku menerima lamaran Pak Sugito, duda beranak tiga, lelaki satu-satunya yang masih bertahan melamarku. Setelah semua lelaki sudah menyerah untukku. Aku rela merestui dua adik perempuan dan satu adik laki-lakiku mendahuluiku ke pelaminan. Semuanya karena kau. Tak berkurang sedikitpun rasa cintaku padamu, meski kau hanya menawarkan janji di bawah purnama.
Hari berlalu, semua musim telah kulewati. Mataku sudah lelah menangis. Tetapi aku akan tetap di sini, setiap purnama nampakkan diri. Kau tahu? selalu kutulis selembar surat untukmu di seberang sana.
“AKU ADA DISINI, DI BAWAH PURNAMA, SEPERTI JANJI KITA DULU, DATANGLAH! JIKA TIDAK MALAM INI, AKU AKAN KEMBALI DI PURNAMA BERIKUTNYA, SAMPAI KAU ADA DI SINI, DAN KITA BAHAGIA.” –ZAHIRAH-
Kugulung surat itu, kumasukkan dalam botol, berharap kau akan membacanya dan kembali kesini. Tetapi, sepuluh tahun sudah, hasilnya nihil.
Keluargaku kini menganggapku tak waras lagi. Katanya aku suka berbicara sendiri, kadang menangis, kemudian tiba-tiba tertawa bahkan marah tanpa sebab. Tak ada yang mengenalmu disini. Mereka bilang kau lelaki imajinasiku. Tentu itu bohong, bukan?
Pulanglah! Kumohon, akan kubuktikan pada semua orang bahwa kau benar ada, tak seperti yang mereka katakan.
***
Tubuh rentaku semakin lelah, tetapi hatiku selalu membara, kududuk sendiri di bibir pantai beralas pasir putih beratap langit gelap bercahayakan purnama. Tegakah kau melihatku seperti ini? Menantimu entah sampai kapan.
“Huk…huk…huk…huk”, kusekap mulutku sendiri menahan batuk yang tak tertahankan. Ku kerutkan dahiku, ada darah kental menempel di telapak tanganku. Dadaku berkecamuk, tiba-tiba kepalaku pusing, nafasku tarik-menarik, pandanganku kabur. Lalu, semuanya gelap.
“Zahirah…Zahirah… Ibu mohon bangun Nak, jangan buat Ibu cemas, buka matamu, ucapkan sesuatu pada Ibu. Ibu berjanji tak akan memaksamu menikah lagi, tunggulah laki-laki itu.” Ibu menciumku, Air matanya menetes di wajahku.
“Puurnaamaa… purnama…” aku bicara terbata-bata.
“Zahirah, kau sudah sadar Nak. Terima kasih ya Allah.”
“Ibu, sudah berapa lama aku disini?”
“Tak usah kau pikirkan Nak, yang penting kau sudah sadar.”
“Tidak Bu, aku ingin tahu. Jawab Bu, sudah berapa hari aku disini?”
“Sebulan, Zahirah.”
Fikiranku melayang, teringat terakhir kali purnama. Purnama selanjutnya sudah datang. Sekarang,  yang kufikir hanyalah pergi ke bibir pantai di bawah bulan purnama. Aku pun bangun dari ranjang, mencabut infus yang tertancap di pergelangan. Memaksa ragaku yang lemah mengikuti kemauan batinku yang kuat. Ibu menghalangikuti pergi, menahanku untuk tetap berada di sini. Aku berontak, mendorong ibu yang berlinang air mata melihat perawannya lari entah kemana di waktu yang menunjukkan lewat tengah malam.
Kupaksa kakiku berlari meski berkali-kali terjatuh. Berlari tergopoh melewati pasir putih tanpa alas kaki. Kutengadahkan kepalaku melihat langit malam. Menyusuri setiap sudutnya. Air mataku kian deras tak tertahankan.
“manaaa…purnamaaa…?”
“mana…purnama…?”
Aku tersungkur, kurapatkan semua anggota sujudku di atas pasir, air mataku megucur deras membuat genangan di pasir putih. Tiba-tiba, kurasakan setiap desahan ombak melambai kearahku, seakan memanggilku. Ku bangkit dari sujud. Ada secercah senyum membias wajahku. Kulangkahkan kakiku satu demi satu. Tertawa terbahak sambil meneteskan air mata yang tak kunjung reda.
Dan air laut sudah sampai dadaku, masih terus kulangkahkan kakiku, berharap di langkah berikut bertemu kau, jika tak bertemu di langkah pertama, kedua, ketiga, sepuluh, dua puluh, lima puluh, seratus, dua ratus, akan kutelusuri langkah selanjutnya. Hingga benar-benar berjumpa.
Tiba-tiba, dadaku berdebar, kurasakan jemarimu menyentuhku, menarik tanganku, menuju sudut laut di seberang sana. Penantianku terjawab sudah. Dilangit malam sang purnama tertutup awan hitam tebal, dan air bah dari langit jatuh mengiringi kepergianku. Hanyutlah kita dalam purnama. Sekarang, bahagiakah aku?

The End
Salam pena,
Radiah Annisa Nasiruddin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Sampai Mereka Tahu Aku Lesbi

Puisi: Tugu Monas Ibu Kota

Namaku dari Sudut Pandang Makhluk Lain