Nasi Kuning di Pantai Losari
“Grrr…grrr…grrr”, ponselku bergetar,
tanda pesan masuk. Kuraih benda bergetar itu. Dilayarnya tertera tulisan -1 new
message Zulkhaidir HEC-, dengan lincah langsung kutekan tombol pilih untuk
membaca pesannya.
“Sudah bangun?” smsnya,
“Ya”, balasku.
05.00 pagi , tidak seperti hari Minggu
biasanya, Minggu kali ini aku harus bangun cepat, sebenarnya bukan hanya aku,
tetapi sebagian anggota Hasanuddin English Community (HEC). Hari ini kami semua
akan melakukan penggalangan dana kecil-kecilan untuk misi kami mengadakan
seminar dan pameran besar-besaran. Penggalangan dana ini kami lakukan bersama-sama
di pantai losari Makassar. Kami semua, anggota HEC, akan jualan, yah jualan
nasi kuning.
Berdasarkan hasil rapat semalam, jika
50 bungkus nasi kuning terjual habis, kita akan mendapat keuntungan 200 ribu
lebih. Wah bagiku itu sudah cukup untuk sebuah usaha anak kampus yang cinta
komunitasnya. Hehe
Hanya menjual nasi kuning, aku pikir
tidak terlalu sulit. Lagi pula pantai losari di hari Minggu pasti dipenuhi
banyak manusia, tak sulit menjualnya
walaupun kami hanya Sembilan orang. Tetapi sungguh, setelah aku
menjalani pekerjaan itu, ternyata tak semudah yang kubayangkan. Disini aku
belajar apa itu cita, cinta, dan semangat.
Ke Sembilan mahasiswa penjual nasi kuning
dadakan hari Minggu di pantai losari itu adalah: Kak Naskar(mahasiswa geofisika unhas semester
akhir), Kak Arham(mahasiswa sastra inggris unhas semester 5), Kak Rahmat(mahasiswa
unhas semester akhir), Kak Zul(mahasiswa teknik pertambangan unhas semester 3), kak Akbar(teknik sem.5), Ihsan, Zakia(mahasiswa ekonomi UMI semester 1), Eva(mahasiswa sastra
inggris unhas semester 1) dan tentunya aku sendiri, Radiah Annisa(mahasiswa
sastra inggris unhas semester 1). Kami semua anggota HEC yang berasal dari
angkatan, jurusan, fakultas, dan universitas yang berbeda. Yang pada akhirnya
disatukan oleh Hasanuddin English Community. Komunitas kami. Kamilah Sembilan
anak Laskar Losari. Hoho.
***
“Grrr..Grrr..Grrr” ponselku bergetar
lagi. -1 new message Zulkhaidir HEC-
“Skrg Sy Sm K Rahmat Sdh Ada D Dpn ramsis”.
“oh iya, wait a moment”, balasku
menggunakan sepotong bahasa inggris, maklum anak HEC. Hehe.
Sesuai rencana semalam, aku dan Eva
akan di jemput oleh kak Zul dan Kak Rahmat menuju tempat dimana kami akan memeras
keringat yang tak sedikit, pantai losari. Secepat kilat langsung kutemui dua
teman sekaligus senior ku itu.
“Eva mana, Diah? Tanya kak Zul,
“masih mandi”, jawabku.
“astagaaa”, secara bersamaan kak
rahmat dan kak zul beristigfar tak lengkap.
Sambil menunggu Eva menyelesaikan
hukum alam, kami hanya bercerita-cerita ringan, tentang kuliah, ramsis, HEC,rapat,
nasi kuning, modal, laba, dan bla bla bla.
Beberapa menit kemudian, dari jarak 15
meter Eva keluar dari kamar ramsis dengan senyum merekah. Orang yang kami tunggu
sedari tadi akhirnya datang. Baiklah, sekarang saatnya berangkat. Eva di
bonceng oleh kak Zul, dan aku dibonceng kak Rahmat. Entah berapa menit perjalanan,
sebelum ke pantai losari terlebih dahulu kami singgah di jalan gunung
bawakaraeng untuk mengambil nasi kuning pesanan. Selanjutnya di bawa
bersama-sama ke pantai losari.
Pantai losari 06.30 pagi, ramai
sekali, mengapa? karena ada festival kebudayaan, ada mahasiswa HMI yang lagi
demo anti korupsi, ada senam bersama, ada penjual obat, ada sulap atau apalah
aku juga tak mengerti, beberapa mahasiwa yang lagi jualan untuk penggalangan
dana juga banyak, pokoknya banyak pedagang yang mangkal di sepanjang jalan
penghibur dan sekitarnya.
HEC beloved community |
***
Belum sempat berkeliling anjungan buat
menjajakan nasi kuning, tiba-tiba seorang ibu setengah baya menghampiri kami.
“Nak, itu berapa?,” tanyanya sambil
menjulurkan telunjuk kearah kantong-kantong berisi nasi kuning. Dengan antusias
kami semua menjawab pertanyaan ibu itu.
“sepuluh ribu, Bu, 1 nasi kuning dapat
segelas air aqua.” Senyum kami mengambang.
“saya beli dua, Nak.”
Alhamdulillah, Semoga ini pertanda
baik, belum memulai usaha yang keras sudah dapat pembeli. Semoga jualan kami
laku semua, harapan kami.
“ok, sudah laku dua bungkus, pulang
yuk!” kak Arham memulai lelucon kecil.
“hahahaha”, kami semua terbahak.
“teman-teman, sekarang kita berpencar
yah, kita pergi dua-dua”, lanjut kak Arham.
Kini semuanya berpenjar, Aku bersama
Kak Rahmat, Eva bersama kak Zul, kak Arham bersama kak akbar, Irfan dengan Zakia, dan
kak Naskar sendirian.
***
“nasiii kuuninggg….nasiii kuninggg…
nasi kuning Bu.. Nasi kuning pak, nasi kuning kak, nasi kuning dek..” Semua
orang ku tawarkan. “Aaarrrgghhhh”, ingin rasanya aku teriak
sekencang-kencangnya. Sudah setengah jam menawarkan nasi kuning untuk semua
orang belum ada yang laku, sedangkan kak rahmat sudah menjual dua bungkus. Aku
tidak boleh putus asa, kulanjutkan lagi perjalan ku, memegang 3 bungkus nasi
kuning dan 2 gelas air mineral. Ku telusuri setiap jalan anjungan pantai
losari.
“dek, dek, nasi kuningnya berapa?”
seorang perempuan muda bertanya padaku.
“10 ribu kak,”jawabku girang.
“hah? Ndak jadi dek,” dia berlalu.
Beberapa kali kejadian itu terjadi. Yah,
memang kusadari harga 10 ribu untuk sebungkus nasi kuning memang terlalu mahal,
ketika pertama kali mengetahui harganya pun aku juga kaget, mahal sekali,
tetapi inikan penggalangan dana, rugi kalau harus jual harga standar.
Kucoba menjajakan dagangan ini dengan
berusaha tetap semangat, seperti semangatnya kak Naskar. Kak naskar jualan
dengan sangat ambisius. Sampai-sampai saking semangatnya, kakak yang paling
berpengaruh di HEC ini menawarkan nasi kuningnya kepada kami semua. Padahal
kita juga sibuk jualan. Astaga.
Pukul 08.00 pagi, nasi kuning
pertamaku laku, seorang laki-laki peserta senam yang membelinya, wah, rasanya
senang sekali bisa mendapat uang dari hasil keringat sendiri, meskipun pada
akhirnya kami tidak mendapat balasan materi apa-apa, selain ilmu dan pengalaman
berharga.
Sudah hampir pukul 09.00, kak Rahmat
pulang duluan karena katanya ada urusan dengan temannya di kampus. Kak Rahmat
memberikan uang hasil jualan nasi kuning padaku dan kemudian mengantarku menuju
ketempat jualan kak Naskar, kak Arham, dan kak akbar, kini kami jualan berempat.
“Diah, SMS Eva sama Zul, suruh
turunkan harga nasi kuning jadi delapan ribu.” Perintah kak Naskar.
“iya kak”. Jawabku singkat sambil
menekan tombol-tombol ponselku.
***
Matahari semakin menyala-nyala, memaksa
kami untuk segera menjual habis nasi kuning-nasi kuning ini. Terlihat kak akbar
yang paling banyak melariskan dagangan kami. Wah hebat juga kakak teknik ini , orangnya
pendiam tapi kerjanya luar biasa. Pukul 10 pagi, nasi kuning turun harga lagi
menjadi 7 ribu. Semakin siang semakin turun harga. Dari pada tidak laku sama
sekali.
Aku juga membeli satu nasi kuning,
maklum lagi lapar juga. Aku membelinya dengan harga awal, yah sekalian nyumbang
buat komunitas tercinta. Tak apalah.
Entah, bagaimana ceritanya, tiba-tiba
aku terpisah dari rombongan kakak-kakak, untunglah di tengah-tengah riuhnya
pasar pantai losari aku bertemu Eva.
“Grrr..Grr..grr..”, getar tanda sms.
“Dek, lagi dimana? Kita sudah mau
pulang, kita semua ada di tempat parkir.” Sms dari kak Zul.
“lupa dimana tempat parkir.” Balasku.
“di depan tulisan pantai losari ada
pertigaan, masuk di lorong tempat yang pertama kali kita kunjungi, disitu
tempat parkirnya.” Balasnya.
Aku benar-benar tidak tahu, sepertinya
aku dan Eva tersesat, di pantai losari banyak sekali lorong, entah yang mana
yang harus aku masuki. Belum sempat membalas sms kak zul, tiba-tiba sms kak Arham
masuk.
“dimana dek?” smsnya
Belum sempat kubalas, kemudian dia
menelpon.
“halo, dimana Diah?”
“jalan penghibur kak”
“oh iwqwrtyujkhshndmkkbrhhntt @#$$%^&*()&&%%”
“apaaa?apaaa? Tidak jelas kak
suaranya”.
Langsung saja kumatikan teleponnya,
karena waktu itu jaringan simpati ke XL
agak gimana gitu.
Tiba-tiba dari belakang datang kak Arham.
“heiii Diah, Eva, tadi di telfon saya
bilang berhenti jalan, malah jalannya cepat sekali, capek tau ngejar kalian.”
Kak Arham nyerocos ngos-ngosan.
“hehehe, maaf kak.” Aku dan Eva hanya
senyum kecil.
Alhamdulillah yah, berkat kak Arham,
jadi acara tersesat kami berdua, batal.
Sampai di tempat parkir, semuanya
ternyata sudah berkumpul, dan syukur banget karena semua nasi kuning laku.
Horee..
“mana hasil ngamennya Diah, Eva?” kak
Naskar membuka pembicaraan sambil menghitung-hitung uang, layaknya bos para
pengamen.
“ini kak.” Ku keluarkan semua uang di
saku rok ku. Mungkin sekitar 40 ribu
Sebelum pulang, kak Naskar membeli 9
gelas monty, berjam-jam jualan akhirnya terbalaskan dengan segelas monty. Alhamdulillah
yah. Patut disyukuri.
11.00 pagi menjelang siang.
Karena kak Rahmat sebagai pengantar
awalku pulang duluan, akhirnya perjalanan pulang kali ini aku diantar kak Arham.
“Makasih kak.” Ucapku setelah sampai
depan pagar asrama unhas.
Sampai di kamar ramsis langsung
kurebahkan diriku di kasur. Ku usap peluh di wajahku, meregangkan semua
otot-ototku, menghela napas panjang dan memejamkan kedua mataku.
Tiba-tiba terbayang wajah ayah dan
ibuku. “Ya Allah, ternyata cari uang itu susah”, gumamku dalam hati.
The End
Radiah Annisa
Jurusan sastra Inggris
nb: sebagai kenangan kebersamaan di Hasanuddin English Community (HEC)
Komentar
Posting Komentar